Antara Jualan Dengan Kenyataan
15 January 2025 18:47:14 - Dedy Irvandy - Public Relation
Akhir-akhir ini banyak beredar di media sosial iklan-iklan yang menjual jasa pelatihan fotografi dengan mengklaim setelah mengikuti pelatihan tersebut siswa akan berpenghasilan miliyaran rupiah. Namun, benarkah ada fotografer di saat ini berpenghasilan miliyaran rupiah? Hari gini???
Tanpa ada embel-embel ambassador merk tertentu, beberapa fotografer pernah merasakan berpenghasilan setidaknya US$ 2.000 perhari kerja di tambah US$ 25 perfoto yang terpilih. Bisa di bayangkan bila pemotretan untuk company profile yang kita foto paling tidak 5 hari di tambah 50-100 foto yang di pilih, maka berapa penghasilan fotografer tersebut? Itu baru dari satu company profile yang mana company profile adalah persyaratan mutlak dari sebuah perusahaan bila ingin dianggap bermutu. Paling sedikit seorang fotografer company profile (Industrial Photographer) memiliki 2-3 proyek per bulan. Beberapa fotografer lain yang tidak bergerak dalam dunia industry paling tidak memiliki fee photography sekitar US$ 500 per foto. Bisa dibayangkan berapa foto yang mampu anda hasilkan dalam satu hari dan kemudian di kalikan berapa hari anda produktif dalam satu bulan, bukan? Namun itu terjadi di kisaran tahun 1980-2000. Lalu bagaimana dengan hari ini?
Sejak digital masuk dunia fotografi, cara pandang kebanyakan orangpun berubah. Saat dulu company profile di cetak dan sekarang company profile tayang dalam format digital atau website. Maka peran fotografipun berubah dari yang dulu berupa produk foto menjadi data foto. Keadaan ini menjadi ruyam ketika kondisi ekonomi yang terpuruk menyebabkan client saat ini tidak lagi mencari fotografer yang bisa mengangkat branding perusahaan mereka namun yang dicari adalah fotografer yang bisa di kendalikan oleh mereka. Belum lagi adanya orang-orang yang menganggap dirinya fotografer mengeluarkan pernyataan bahwa “fotografi mudah” yang langsung berdampak pada hancurnya profesi fotografer secara menyeluruh. Kaidah-kaidah ketrampilan yang selama ini di agungkan luntur seketika dan melahirkan generasi tanpa memiliki penguasaan baik dalam penguasaan objek maupun penguasaan visual. Keadaan ini juga berakibat pada tipisnya etika para pekerjanya.
Sempat berhembus angin segar saat pandemic berlangsung dimana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlangsung, gairah masyarakat pada berolah raga meningkat. Para pekerja foto yang saat itu terkena imbas langsung yang mana seluruh kegiatan di batalkan maka beralih ke jalan untuk memotret masyarakat yang berolah raga untuk kepentingan media sosial orang-orang tersebut. Dengan harga yang disepakati bersama, para fotografer dapat menjual karya-karyanya. Tidak heran bila saat itu para fotografer bisa berpenghasilan 5-7 juta perhari. Bahkan beberapa fotografer yang beruntung dengan merintis lebih dulu bisa memiliki penghasilan 10-15 juta perhari.
Namun setelah PPKM berlalu yang kemudian di susul dengan kegiatan marathon yang setiap minggu ada, maka bermunculanlah para fotografer petualang. Sebutan fotografer petualang ini muncul dengan menjual foto jauh lebih murah (kadang jauh lebih murah) dari yang sudah di sepakati sebelumnya. Akibat dari munculnya para petualang ini adalah perang harga diantara sesama pekerja foto. Kisruh ini di peruncing dengan campur tangan dari aggregator penjual foto dan panitia penyelenggara marathon. Bagi aggregator penjual foto, harga tidak perlu ada pembatasan karena adanya pasar bebas. Bagi panitia penyelenggara marathon, para pekerja foto tidak berkah mendapat keuntungan dari acara yang mereka adakan.
Maka bila dilihat dari permasalahan fotografi olah raga di jalan bisa dilihat:
1. Cilent mencari foto yang harganya murah dan tersedia dengan cepat.
2. Aggregator melarang adanya pembatasan harga, karena yang dibutuhkan mereka adalah kunjungan. Semakin banyak fotografer yang bergabung, maka semakin banyak olahragawan yang mengunjungi aplikasinya.
3. Panitia penyelenggara ingin mendapatkan tambahan keuntungan dari para pekerja foto atas acara yang diadakannya.
Dari jabaran ke 3 masalah diatas, sangatlah menyedihkan ketika masalah kualitas fotografinya sendiri sama sekali tidak di singgung.
Tragis memang bagi sebagian kecil fotografer yang telah berkecimpung di jalan sejak PPKM berlangsung tetap pada harga lama dan tidak juga merubah kecepatan upload foto namun terus menggali tehnik-tehnik baru agar dapat menampilkan karya-karya berkualitas, tentunya dengan kondisi yang berlaku saat itu.
Mengenai harga sendiri, para fotografer kelompok kecil ini berpendapat kenapa harus di turunkan kalau kita jual 5 foto saja masih lebih besar pendapatannya dari pada mereka-mereka yang menjual 10 foto dengan harga yang lebih murah? Memang kita jualan cari jumlah fotonya atau cari besaran untungnya?
Kembali ke permasalahan diatas, beberapa waktu lalu sempat beredar video yang mengiklankan aggregator penjual foto yang mengatakan dengan memotret olah raga di jalan bisa berpenghasilan hingga 10 juta perhari. Maka dalam bayangan orang awam 10 juta perhari bila di kalikan dengan 30 hari maka sebulan akan berpenghasilan 300 juta, WAW bukan??? Sejak video tersebut beredar, profesi fotografer olah raga di jalanan naik daun. Semua orang yang memiliki kamera, apapun jenis kameranya dan bagaimanapun hasilnya, turun ke jalan dan mengaku sebagai fotografer professional spesialis olah raga. Sampai ada sebuah komunitas yang mengklaim bahwa ini adalah genre street fotografi karena ada jalannya. Namun kenyataannya:
1. Kegiatan orang berolah raga yang akan membeli hanya di hari Sabtu dan Minggu. Dengan catatan potensi pembelian dihari Minggu lebih besar.
2. Saat ini ada banyak, mungkin sampai jumlah ratusan fotografer yang ada di sepanjang jalan Sudirman Jakarta. Maka kemungkinan foto anda di beli semakin kecil.
3. Penambahan jumlah “fotografer” ini juga termasuk para “fotografer” dari luar kota seperti Bandung, Surabaya hingga Makasar.
4. Kondisi ekonomi yang saat ini sedang terpuruk, orang enggan mengeluarkan uang untuk keperluan sekuder.
Lalu apa benar bisa di saat ini menjual foto hingga puluhan foto perhari di hari Minggu? Jangankan hingga Milyaran rupiah, ratusan juta saja sudah sulit dipercaya. Atau mungkin orang-orang tersebut berpenghasilan 2M atau kepanjangan dari “Makasih Mas……” alias tidak di bayar.
Yang saat ini terjadi adalah semua promosi, iklan, bahkan berita beredar tanpa adanya pembatasan, seolah-olah semua boleh dilakukan. Karena nanti kalau salah, ada yang tersinggung ataupun ternodai, tinggal minta maaf, dan katakan kita menyesal, “Khan itu hanya becanda…..”
Berbeda dengan jaman yang lalu saat setiap majalah, koran ataupun pemberitaan melalui proses kuratorial, berupa editor. Saat ini cenderung dipegang oleh satu prang tanpa adanya proses kuratorial. Hal inilah yang menyebabkan sensasional itu menjadi hal yang mutlak, terlepas dari salah atau betul, ataupun kebenarannya di sangsikan.
Namun ada seorang kenalan yang bersikeras mengatakan bahwa ada fotografer saat ini yang berpenghasilan milyaran dengan mengisi konten media sosial. Apa iya? Iya, dia menjadi ambassador dari merk-merk produk dan memberi pelatihan keliling Indonesia dengan membawa merk tersebut. Kemudian pertanyaannya, kapan dia motret? Lalu apa berhak dia dikatakan berpenghasilan miliyaran karena fotografi? Bukankah dia seorang influencer yang kebetulan membahas produk-produk fotografi hingga memiliki follower yang berlimpah? Apa berhak orang tersebut di kategorikan sebagai fotografer?
Barangkali ada beberapa hal yang perlu kita pelajari lebih lanjut mengenai iklan-iklan sensasional tersebut antara lain, apakah mereka sudah memiliki alumni yang kini berpenghasilan seperti iklan tersebut? Kemudian siapa pengajarnya? Apakah pengajarnya adalah orang-orang yang mumpuni dalam hal pelatihan tersebut? Namun diatas itu semua, pertanyakan pada diri sendiri, apakah anda mau bekerja pada bidang tersebut karena penghasilannya yang besar atau karena anda mencintai bidang pekerjaan tersebut?
Bicara mengenai harga itu sendiri, memang agak sulit kita tentukan. Bagai buah simalakama, kita kasih harga tinggi tanpa nawar, tanpa pamit tiba-tiba menghilang. Dikasih harga murah, bisa jadi dia ngga percaya kitab isa motret karena harganya murah. Maka adanya harga standart memang diperlukan. Banyak cara untuk menentukan harga, barangkali bisa kita bicarakan pada topik selanjutnya. Namun satu hal yang perlu kita hindari adalah memasang harga di bawah harga pasaran dengan tujuan agar mendapatkan client lebih banyak. Hal tersebut dapat melahirkan opini di masyarakat bahwa jasa fotografer itu murah karena mudah, tinggal jepret, belum lagi saat ini setiap orang memiliki handphone dengan kapasitas pixel bejibun. Inilah yang kemudian disebut sebagai perusak harga dan penghancur profesi fotografer. Seperti juga yang terjadi pada profesi fotografer kawinan. Secara umum prosesi sebuah perkawinan kurang lebih sama yaitu mempersatukan 2 keluarga dalam satu bahtera. Kemudian dari sisi fotografi mengabadikan prosesi yang sama apa bisa menampilkan sebuah kemasan yang berbeda? Jawabnya pasti bisa. Caranya? Pelajari fotografi lebih dalam, maka anda akan menemukan ribuan cara untuk menampilakan album foto yang berbeda.
Ketika pemotretan masih menggunakan film seluloid, 1 proyek perkawinan bisa menghasilkan 1 lensa atau 1 body. Saat ini, berapa proyek perkawinan yang harus anda lakukan untuk mendapatkan kamera baru?
Saat ini ketika usia saya sudah tidak muda lagi, maka foto perkawinan adalah salah satu genre yang saya hindari. Bagaimana tidak, ketika saya memotret acara sebuah acara perkawinan dengan lengkap di butuhkan waktu untuk saya melepas lelah dengan tidur selama 2 hari? Maka secara fisik saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk turun di genre tersebut kecuali permintaan dari teman dekat atau saudara. Namun satu hal yang perlu saya ingatkan bahwa dengan kemajuan teknologi saat ini, persaingan akan semakin ketat. Lalu apa trik untuk menghadapinya? Perdalam ilmu fotografi anda dan jangan lupa dengan menambah pengetahuan lain yang dapat mendukung teori-teori fotografi yang anda miliki.
Ada hal yang menarik ketika seorang teman memohon pada saya untuk mendokumentasikan perkawinan anaknya. Dengan segala macam cara sudah saya tolak namu dia bersikukuh tetap meminta saya dikarenakan ini anak yang diistimewakan. Padahal belakangan saya ketahui kalau beliau menyewa WO (Wedding Organizer) untuk acara tersebut yang dalam paketnya sudah termasuk fotografer. Singkat cerita, turunlah saya memotret hingga akhir acara dan langsung saya cetak menjadi album. Ketika album saya antar terlihat wajah yang tersenyum sumringah melihat album yang saya susun.
2 bulan kemudian, sang pengantin menelepon saya meminta agar album yang lalu untuk di cetak Kembali sebanyak 2 buah. Ternyata album tersebut keliling diantara para keluarga pengantin pria maupun Wanita hingga kumal, karena unik dan lucu menurut mereka. Lalu bagaimana dengan hasil album foto dari WO? “ Oh ada om, baru kemarin selesai dan ya biasa aja, ngga menarik”, begitu kata pengantin pria.
2 hal yang bisa saya tarik untuk pelajaran.
1. Ternyata album foto perkawinan masih memungkinkan untuk kita susun diluar kebiasaan bahkan diluar kewajaran, mengingat album yang saya buat layaknya sebuah komik humor.
2. Penghargaan datang dari masyarakat yang menilai, bahkan terkadang kita tidak perlu menentukan, hingga sibuk mencari exsistensi diri di media sosial.
Jadi teringat pesan senior saya bahwa exsistensi seorang fotografer adalah karyanya. Biarkan karyanya yang hadir disetiap saat, disetiap sudut, hingga ke masyarakat di ujung bumi. Walaupun pendapatan yang saya terima saat itu tidak sampai angka milyaran rupiah, namun lumayalah saat itu saya bisa membeli 1 lensa baru.
Ketika kita kaitkan dengan kondisi saat ini dimana hamper setiap orang memiliki media sosial. Foto menjadi tulang punggung dari tampilan sebuah media sosial. Maka sudah saatnya bagi kita sebagai fotografer untuk meningkatkan kemampuan diri. Bukan saja teknologi baru namun teori-teori kuno fotografi yang ternyata masih sangat selaras sejalan dalam hal menampilkan sebuah visual. Peralatan dengan teknologi terkini sekalipun hanyalah alat yang membantu kita dalam menciptakan karya. Namun karya yang bagus itu adalah hasil pemikiran kita.
Pada sebuah kesempatan, seorang fotografer muda bertanya pada saya mengenai sebuah teori yang di ajarkan oleh seorang influencer produk fotografi yang berlawanan dengan kondisi nyata dilapangan. Sambil berkelakar sayapun menjawab: “Kalau mau belajar sama orang yang banyak ilmunya, jangan belajar sama orang yang banyak followernya”.
Penulis : Tigor Lubis
Untuk afiliasi silakan
0 Comments
Please Log in to read all comments and write one