MemBanting Menjadi Bintang ( Silang Sengkarut Dunia Fotografi Indonesia)
29 June 2023 18:53:54 - Dedy Irvandy - Public Relation
Akhir-akhir ini dunia fotografi kita marak ramai jadi perbincangan. Didukung perbagai institusi pendidikan dan penjelasan para ‘pakar’ di social media. Kegiatan fotografi menjadi ramai, semakin banyak pelaku praktek ‘profesional’ fotografi. Berdatangan dari berbagai kalangan, mereka yang iseng maupun yang serius, keduanya melihat adanya peluang bisnis dalam fotografi.
Namun, dari perbincangan yang ramai tadi, lebih sering terdengar keluhan dari para fotografer. Bukan tentang mutu karya yang jadi perbincangkan melainkan tentang harga yang tidak menentu dan sangat fluktuatif. Mulai dari harga jasa liputan acara perkawinan hingga foto status untuk media sosial. Harga yang tidak memiliki patokkan dasar yang terkait dengan mutu.
Sebenarnya, permasalahan banting-bantingan harga sudah lama ada , sejak era fotografi analog atau celuloid. Namun bak jerawat di kulit muka, kadang timbul kadang tenggelam. Saat timbul akan memalukan sang pemilik muka[fotografi]. Tetapi saat tenggelam, cuci mukapun jarang, tidak berinstropeksi. Adanya gejolak atau persaingan harga yang semata-mata untuk merebut pasar. Dengan pendekatan kreatif yang meniru. Lahirlah gaya fotografer x dengan harga x minus. Tetapi ada hal yang khas pada jaman celluloid, yaitu bahwa tidak semua orang memahami apalagi melakukan praktek fotografi. Para pengguna jasa fotografi [komersil maupun pribadi] mengakui tingkat kepekaan dan kesulitan fotografer hingga perbedaan harga tidak berakibat fatal.
Ketika seseorang memasang harga di bawah harga yang “seolah-olah” dianggap standar maka para pelaku fotografi yang lain resah gelisah. Namun permasalahan ini umumnya terhenti, pada kemampuan pengguna jasa menilai karya. Seolah hukum pasar permintaan dan penyediaan yang kelindan dengan kwalitas berlangsung dengan pasang surut yang relative stabil. Kelangsungan yang dianggap sebagai kewajaran, berakibat tidak adanya usaha agarkondisi tersebut tidak terulang. Semua dapat kembali duduk manis bekerja maupun berdiri tegap di balik kamera. Dunia professional adem ayem. Hingga suatu saat nanti kejadian yang sama terulang lagi dan kemudian berakhir tenang kembali. Begitu seterusnya. Saat itu, fotografer komersil berbeda dengan rekan rekan foto jurnalis yang tergabung dalam organisasi wartawan [PWI] para fotografer professional [komersil] bebas tidak memiliki afiliasi maupun asosiasi.
Tahun berganti dan jaman berubah. Memasuki era digital, awal abad milenia. Masalah ini [harga] belum jugadijadikan agenda. Untuk menganggap fluktuasi harga sebagai suatu yang serius dan harus diatasi bersama. Saat KemenParekraf di sekitar tahun 2019 mengajak 4 pilar untuk Bersama-sama mengembangkan fotografi dalam konteks ekonomi kreatif. Belum ada juga perhatian khusus tentang ‘jasa’ fotografi. Pembicaraan atau pendekatan justru terkesan pada menyiapkan tenaga kerja yang mumpuni, dan dapat dijamin kwalitasnya, yang dikemudian hari dianggap dapat disiapkan melalui proses sertifikasi.
Hingga dari ke 4 pilar; pelaku, pendidikan, dunia usaha dan pemerintah. Belum ada langkah untuk melibatkan instansi yang sesungguhnya juga berperan, misalnya terkait jasa dan tenaga pelaku fotografi dalam undang-undang ketenagakerjaan. Kondisi yang berlarut sampai sekarang. Ketika teknologi berkembang jauh, dunia digitalpun sudah begitu canggih. Selain jumlah pelaku yang dihasilkan oleh dunia pendidikan fotografi pun sudah banyak.
Disisi lain perkembangan Teknis fotografi pun mengalami kemudahan. Para pengguna jasa fotografi, baik komersil maupun tidak, melihat fotografi tidaklah sama seperti di era sebelumnya. Perangkat-perangkat merekam membuat foto yang ada dalam berbagai gadget [HP] semakin canggih. Menyerupai hasil karya para fotografer professional meski dalam resolusi yang sederhana.
Adaya apresiasi yang baru dan relatif kritis terhadap kerja dan hasil foto. Jadikan pengguna jasa memiliki sikap yang beda. Mereka dapat mengkritisi karya para fotografer, dan tidak lagi menempatkan fotografi sebagai mereka dulu melihat fotografi.
Kondisi ini, disertai tidak adanya standar menjadi alasan beberapa kalangan fotografer untuk memasang tarif [rendah] untuk mendapatkan klien dan mendapatkan keuntungan yang kwantitatif. Perbuatan yang sesungguhnya tanpa disadari akan merusak ekosistem seni pada umumnya dan fotografi khususnya, yang susah payah dirintisoleh para pendahulu.
Pada satu wawancara, seorang pelaku menjawab pertanyaan mengenai ‘mengapa harga jual fotonya begitu murah’ ;”Selama yang kami lakukan tidak haram, lalu kenapa tidak?”.
Tidak sadar bahwa sesungguhnya sikap perbuatan itu merugikan. Terutama bagi para fotografer dan dunia fotografiitu sendiri. Bak politik ‘dumping’ dalam teori ekonomi yang selain bertujuan menguasai pasar dengan kwalitas murah terjangkau [walau tidak bermutu], sekaligus mematikan persaingan. Sikap yang merugikan orang seperti ini tentuadalah haram hukumnya. Perbuatan membanting harga seperti ini, selain menjadikan rekan sejawatnya kehilangan pasar, tidak mendidik pengguna jasa, juga secara langsung membuat profesi fotografi dianggap sebagai komoditi. mudah dan murah, seperti tanpa harus memerlukan keahlian khusus.
Membanting di ekositem fotografi
Di sisi lain, ada juga imbas terkait banting-membanting harga jasa pemotretan ini. Dunia Pendidikan fotografi di Indonesia diawali ditahun 1993, oleh Fakultas Film dan TV IKJ. Yang kemudian bersama dua institusi membangun pendidikan khusus fotografi dengan jenjang yang tinggi. Dikemudian hari disusul oleh beberapa Lembaga Pendidikan, dalam perbagai jenjang, selain menjadi bagian dari kurikulum mata kuliah berbagai fakultas-Jurusan.
Namun berbeda dengan pendekatan saat pendidikan fotografi dimulai, saat media cetak yang sedang pesat berkembang memang membutuhkan fotografer. Maka pendidikan fotografi yang muncul belakangan tidak secara langsung berkaitan dengan kebutuhan dunia kerja. Yudhi Surjoatmodjo, pelaku dan pengamat senior fotografi, saat meilihat jumlah institusi yang melakukan pendidikan fotografi. Mempertanyakan tentang kebutuhan Pendidikan fotografi dengan kebutuhan yang ada, bertanya lugas; sebanyak apakah kebutuhan fotografer di Indonesia?
Agaknya pendidikan fotografi yang lahir belakangan lebih cenderung sebagai kelengkapan institusi pendidikan itu sendiri. Fotografi dijadikan daya tarik bagi calon mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang banyak, tidak ayal membutuhkan pengajar fotografi yang juga tidak sedikit. Maka segala konsekwensi yang ada pada dunia praktek fotografi pun hadir. Karena sesungguhnya pendidikan tidak bertujuan mencipta fotografer yang profesional, tingkat pengajarpun disesuaikan. Pengajar bukan lagi pelaku yang akan ditiru, melainkan pelaksana penerjemah diktat, dengan jenjang akademis yang sah.
Tidak dipastikannya masa depan para [maha] siswa sebagai fotografer, maka pendidikan fotografi pun dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Masih diajarkan hal hal yang seharusnya tidak lagi menjadi materi dasar, seperti relasi kepekaan pencahayaan , bukaan lensa dan waktu rekam. Tidak perlu ada peningkatan mutu terkait pemikiran. Para pengajar tidak diharapkan menghasilkan kwalitas melainkan kwantitas. Yang berimbas pada harga jasa pengajar.Disini jasa pengajarpun menjadi bahan ‘banting membanting’, saling bersaing, oleh jumlah lulusan pendidikan fotografi dalam strata akademis yang semakin meningkat jumlahnya.
Sementara, suka atau tidak suka dunia fotografi semakin semarak. Jumlah pelakunya meningkat, baik yang berkerja sebagai fotografer maupun yang melalui gadgetnya mencipta gambar untuk diunggah di media social. Tidak terbayangkan banyaknya jumlah gambar/foto yang dibuat oleh puluhan juta orang dalam satu hari.
Terciptanya begitu banyak gambar foto juga menyebabkan semakin banyak karya-karya yang dapat dilombakan. Kini kebutuhan tenaga juripun menjadi kebutuhan. Produsen, kegiatan promosi berbagai instansi melihat kemungkinan pameran dan lomba sebagai ajang aktualisasi diri bagi peserta. Sadar akan kebutuhan yang bersifat kwantitatif [belum lagi terkait anggaran], maka terjadi pula hal yang serupa dengan apa yang terjadi pada dunia fotografi umumnya. Keadaan yang selain terjadi pada para fotografer, lalu pengajar, rupanya terjadi juga pada tingkat kurator hingga juri sebuah lomba foto.
Selain itu banyak lomba foto yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan pemenang. Yang akan terpilih melalu jumlah “LIKE” terbanyak. Praktis, ekonomis dan effisien. Menjaring masyarakat yang lebih luas melalui kemudahan untuk siar dan sebar-luas pada teman di media sosial lainnya. Tanpa mempertimbangkan, pertimbangan tanggung jawab kualitas pemenang lomba. Semarak dan popularitas menjadi tujuan utama. Akibat pola lomba seperti ini, ruang gerak para juripun semakin sempit yang berimbas pada pilihan kompensasi . Pada lomba-lomba seperti ini, dapat disimpulkan bahwa; Hasil lomba foto tidak dapat di pertanggung-jawabkan secara fotografis, melainkan cenderung sosiologis. Pemenang lomba yang selama ini menjadi beban [kwalitas] kurator, tidak lagimenjadi acuan. Jumlah kwantitas ‘LIKE’ para pemirsa menjadi penentu. Sedang akibat langsung pada fotografi; “LIKE” yang banyak. Menjadi pengesahan bahwa orang tersebut, pemenang adalah seorang fotografer yang‘profesional’. Meskipun tidak ada pertanggung-jawaban foto yang deskriptif, melainkan abstrak belaka.
Melihat runtunan situasi yang seperti ini. Maka, tidak hanya jasa foto saja yang runyam, namun fotografi sebagai ilmu juga menjadi stagnan kalau tidak sedang menuju masa gelap. Yang mana semua ini terjadi disebabkan tidak lepas dari tingkah laku para pelaku foto itu sendiri. Apa yang sedang terjadi pada dunia fotografi Indonesia?
Menjadi Bintang
Saat ini, Artificial Intelegent [AI] telah memasuki dunia kesenian, khususnya dunia seni visual. Namun tidak seperti bidang seni lainnya yang telah lebih mapan, fotografi masihlah sangat muda usia. Maka apa yang akan terjadi dengan dunia fotografi [Indonesia] sudah dapat diduga, yaitu “keresahan”. Resah karena profesinya akan tersingkirkan oleh para seniman imaji digital, resah akan pertanggung jawaban [hak cipta] yang semena-mena, dan lain sebagainya. Namun di luar sana, teknologi akan terus berkembang maju. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi perkembangan teknologi ini, bagaimana mendudukkan kita di dunia artificial intelegent?
Tentu sebaiknya kita dapat ikut masuk dalam perkembangan ini, dengan batasan-batasan yang berpulang pada masing-masing fotografer. Namun harus disadari pula agar jangan kita ulangi kelalaian yang pernah kita lakukan saat digital menyingkirkan analog. Yaitu di mana saat kemudahan menjadi alasan untuk menurunkan harga. Begitu juga pada AI ini di mana pekerjaan jasa fotografi akan sangat dimudahkan. Namun perlu kita ingat walaupun secara harga total turun, disebabkan dengan kecilnya tim kerja kita, namun secara upah kita sebagai fotografer sudah selayaknya naik, karena untuk melakukan pemotretan ini ada keahlian tambahan yang harus kita kuasai. Tetapi bukankah harga juga ditentukkan oleh pengguna jasa?
Sesungguhnya disinilah semua berawal [dan seharusnya berahir]. Ketidak fahaman pengguna jasa fotografi terhadap kerja dan karya fotografi.
Didunia kreatif saat digaungkan ekonomi kreatif, maka tidak seperti para seniman visual yang lain yang mendapatkan apresiasi pada kwalitas, maka fotografi didekatkan dengan kriya, kwantitas.
Perlu kesadaran bagi kita semua bahwa fotografer seperti senirupawan dengan media lain. Melahirkan karya melalui tingkat pemahamannya tentang apa yang ia buat. Secara teknis tentu selalu berkembang. Tetapi juga dengan pemikiran yang melatar belakangi karya-karya foto yang diciptakannya, harus ada kemampuan untuk menjelaskan karya secara logis dan deskriptif.
Sesungguhnya bahwa kesempurnaan kita sebagai profesional (baik jasa foto, pengajar fotografi, juri lomba dan lain sebagainya) ada pada jati diri, yang datang dari pengalaman serta pemikiran. Bukan semata karena kita bisa dan giat memotret, bukan pula karena kita sibuk mengajar disana sini. Bahwa jati diri kitalah yang berharga, yang akan menghantar pada hasil yang baik. Memasarkan karya kita dengan integritas dan kemampuan yang tinggi, bukan dengan merendah dan menjadi murah. Membanting tidak menjadikan seorang menjadi bintang.
Tigor Lubis
Firman Ichsan
2023
Untuk afiliasi silakan
0 Comments
Please Log in to read all comments and write one