"TUJUH TITIK NOL", CATATAN UNTUK PULIH
22 February 2023 21:12:27 - Dedy Irvandy - Public Relation
Mitos Dewi Anjani
Ketika melakukan riset referensi mengenai gempa Lombok 2018, saya menemukan karya tulis penelitian oleh Bukhori Muslim, dosen Universitas Nahdlatul Wathan Mataram. Judul dari karya tulis tersebut adalah Persepsi Masyarakat Suku Sasak Terhadap Gempa Bumi Lombok dengan Mitos Dewi Anjani. Mengutip karya tulisnya, masyarakat Suku Sasak mempercayai bahwa Dewi Anjani merupakan manusia yang dianugerahi kesaktian dengan mampu hidup pada dua alam, yaitu alam manusia dan alam gaib.
Dewi Anjani juga ditugaskan oleh Sang Pencipta sebagai penunggu Gunung Rinjani. Masyarakat Sasak kemudian mengaitkan peristiwa gempa yang terjadi antara bulan Juli dan Agustus 2018 karena keberadaan Dewi Anjani. Kisah mengenai Dewi Anjani ini disampaikan secara lisan turun-temurun di dalam lingkup masyarakat Sasak. Tujuan penelitian adalah melihat persepsi bencana alam – gempa 2018 – yang berkembang dalam masyarakat adat.
Sungguh menarik karena dalam penelitian itu didapatkan sebuah pandangan bahwa alam murka – Dewi Anjani dengan kehendak Sang Pencipta – karena tingkah laku manusia. Bencana bumi bergetar merupakan peringatan khusus bagi Suku Sasak dan umumnya manusia agar tidak melanggar tradisi dan merusak lingkungan Gunung Rinjani. Ini sebuah peringatan agar tidak lagi melanggar tradisi budaya yang dianggap sakral sejak zaman dahulu.
Bencana memang sudah terjadi, tetapi kita bisa memetik banyak pelajaran dari sebuah peristiwa. Memunculkan kisah-kisah seperti Dewi Anjani bisa jadi pengingat untuk menjaga alam dan selalu hidup selaras dengan alam. Seperti lagu yang didendangkan di Pulau Simeulue, Aceh, tentang membaca alam agar terhindar dari bencana adalah hal penting yang menjadi pegangan bawah sadar, terutama masyarakat Indonesia yang tinggalnya berada pada jalur patahan dan dekat gunung berapi aktif.
Catatan Waktu Visual
Artikel ini saya buka dengan petilan kisah tentang Dewi Anjani yang merupakan cara pandang lisan. Kisah yang diceritakan turun-temurun ini sebagai pengingat bagi masyarakat adat agar kembali mendekatkan diri kepada alam.
Lalu bagaimana dengan peran visual? Lisan yang berdiri sendiri tentu akan menimbulkan distorsi kisah dari waktu ke waktu. Di sinilah fotografi berperan dalam memberikan “pelajaran” untuk kemudian di masa depan bisa mengurangi kerusakan yang terjadi akibat gempa. Apalagi manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya (jika ia dekat dengan alam).
Buku foto Tujuh Titik Nol harusnya bisa disebarluaskan bahkan diletakkan di setiap sekolah dan ruang baca umum. Bukan untuk mengenang kegetiran, tetapi untuk menjadi pengingat agar tidak lengah.
Sebagaimana diketahui, gempa bumi dahsyat berkekuatan 7.0 pada Skala Richter (SR) mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018 sekitar pukul 19.46 WITA. Gempa ini disebut sebagai gempa utama yang dipicu oleh aktivitas sesar naik di utara Lombok, yang dimulai sejak 29 Juli 2018 yang menimbulkan gempa berkekuatan 6.4 SR.
“Tujuan buku ini adalah mengabadikan salah satu momen terbesar yang menimpa daerah kami, percaya setiap detik pada momen tersebut akan selalu dikenang masyarakat Lombok. Buku ini akan menjadi pelajaran dan pengingat dari sudut pandang mereka masing-masing. Untuk format buku dibuat sesuai dengan urutan kejadian, yang mana pada awal buku memperlihatkan kepanikan dan kehancuran. Lalu di pertengahan buku kami menampilkan proses kebangkitan dan senyum dari para korban. Sebuah gambaran kebangkitan dari segala kondisi yang kami hadapi,” jelas Ivan Mardiansyah, salah satu kurator dari buku Tujuh Titik Nol.
Buku foto – yang merupakan karya kolektif dari 22 mahasiswa Universitas Mataram dengan tiga kurator dari penggiat foto di Lombok, yakni Ivan Mardiansyah, Rangga Wijaya dan Imran Iswadi – ini patut mendapatkan apresiasi dan dukungan.
Secara visual, Tujuh Titik Nol bukanlah tipe buku yang dinikmati kala santai. Beberapa foto menunjukkan kesedihan serta suasana yang mencekam. Misalkan saja foto karya Ivan Mardiansyah tentang suasana rumah sakit pascagempa, seperti korban yang begitu banyak tidak bisa mendapatkan tempat yang layak; tatapan nanar dari korban yang berada di kursi roda di pinggir jalan dengan selimut; dan juga foto evakuasi korban tewas yang ditandu menggunakan bambu
Rekaman-rekaman visual pendokumentasian, menurut saya, menjadi salah satu yang terpenting dalam sejarah manusia. Seringnya kita abai terhadap momen sehingga kenangan akan momen bisa saja terdistorsi karena trauma yang dialami. Foto-foto dokumentasi Tujuh Titik Nol bisa menjadi referensi akurat keadaan saat dan sesudahnya. Referensi keadaan, ekspresi, emosi, jumlah, hingga kepentingan detail dibutuhkan di masa mendatang.
Seperti dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidarma (dalam buku Kalacitra), foto tidak akan pernah “diam”. Momen bisa menjadi masa lalu yang tertangkap, tetapi foto itu sendiri akan selalu menjadi kontemporer, yakni selalu berada di masa kini atau kekinian karena dalam waktu ia akan “dihidupkan” menjadi ide dan referensi akan hal baru (kekinian). Misalnya, foto karya Art Kane (1958) untuk majalah Esquire – 57 musisi jazz yang bermukim di New York yang kemudian menjadi inspirasi sebuah karya dokumenter, film dan banyak artikel dikarenakan kekinian dari pemandangnya (yang melihat foto).
Foto-foto dalam Tujuh Titik Nol bisa menjadi sebuah dasar untuk menceritakan dari sudut pandang edukasi hingga komersial seperti film. Bisa jadi awalnya buku ini hanya sebuah ide sederhana, tetapi pada masanya nanti tidak hanya masyarakat terdampak saja yang membutuhkan.
“Pembuatan buku ini juga bagian dari program pengembangan kemampuan anggota dalam bidang fotografi pada organisasi Fokus, sehingga mereka dituntut menampilkan foto yang kuat secara visual. Kami masih memiliki keterbatasan duplikasi buku Tujuh Titik Nol. Saat ini untuk membaca buku bisa didapatkan di UKM fotografi kampus Universitas Mataram. Beberapa instansi dan perorangan yang ingin memiliki buku, akan kami bebankan biaya cetak saja. Namun, teman-teman Fokus terbuka jika ada tawaran untuk menerbitkan lebih serius buku dalam jumlah lebih banyak,” ujar Ivan menutup pembicaraan kami.
Terima kasih teman-teman Fokus. Mengingat ucapan Robert Duvall, ”Ini bisa jadi bukan hal yang besar, tetapi terkadang tanpa Anda sadari telah membuat hal-hal besar dari hal-hal kecil’.
Penulis : Marrysa Tunjung Sari
Catatan:
Buku ini merupakan karya dari 22 mahasiswa Universitas Mataram: Ivan Mardiansyah, Johari Efendi, Zuhri Isnaeni, Muhammad Rezky, Yon Llahi, Alfian Akbar, Dwi Ariani, Teguh Purnama Aji, Evi Afidatul,
Untuk afiliasi silakan
0 Comments
Please Log in to read all comments and write one